Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
dalam sebuah khutbah mengatakan, “Sesungguhnya Allah memberikan tawaran
kepada seorang hamba antara dunia dan apa yang ada di sisi-Nya.
Ternyata hamba itu lebih memilih apa yang ada di sisi Allah.”
Abu
Bakar Ash-Shiddiq menangis. Para sahabat yang lainnya pun heran. Hingga
akhirnya diketahui bahwa hamba yang dimaksud Nabi itu tak lain adalah
Abu Bakar. Mereka memeng mengakui keutamaan pribadi sahabat yang juga
mertua Rasulullah itu.
Dalam kesempatan lain,
Nabi menyebut orang yang paling besar jasanya dalam persahabatan dan
kerelaan mengeluarkan hartanya adalah Abu Bakar. "Andai saja aku
diperbolehkan memilih kekasih selain Rabbku, pasti aku akan menjadikan
Abu Bakar sebagai kekasih. Tapi cukuplah antara aku dengan Abu Bakar
ikatan persaudaraan dan saling mencintai karena Islam," kata Rasulullah.
Sayyidina Abu Bakar termasuk kelompok orang yang paling awal masuk Islam (as-sâbiqûnal awwalûn).
Selain loyalitasnya yang sangat tinggi terhadap Rasulullah, ia juga
dikenal sebagai sosok yang amat zuhud dan punya keistimewaan lebih dari
para sahabat lain. Reputasi di mata Nabi dan sahabat-sahabat inilah yang
membuatnya dipercaya mengemban amanat sebagai khalifah pertama selepas
Rasulullah wafat.
Banyak pelajaran yang bisa
dipetik dari kehidupan Sayyidina Abu Bakar, baik melalui keteladanannya
atau petuah-petuah yang disampaikannya. Salah satu yang bisa ditimba
adalah cerita tentang saat-saat beliau menjelang wafat.
Seperti ditulis dalam kitab Anîsul Mu'minîn karya
Shafuk al-Mukhtar, suatu kali Sayyidah 'Aisyah, putri beliau yang juga
istri Rasulullah, datang kepada Abu Bakar yang kala itu sedang sakit.
"Wahai Ayah, bagaimana bila aku panggilkan dokter?" tanya 'Aisyah.
"Ayah sudah ditangani dokter."
"Lalu apa kata dokter?" tanya 'Aisyah penasaran.
"Ayah
boleh melakukan apa yang Ayah inginkan." Pernyataan dokter semacam ini
menunjukkan bahwa sakit Abu Bakar cukup parah dan mendekati kematian.
"Dengan kain mana aku nanti mengafani jenazah Ayah?"
"Dengan baju yang biasa aku pakai saat makmum shalat bersama Rasulullah."
"Baju itu sudah usang. Apa tidak sebaiknya aku belikan kain kafan yang baru?" tanya 'Aisyah.
Jawab Abu Bakar, "Orang hidup lebih berhak atas sesuatu yang baru ketimbang orang mati."
Dialog
'Aisyah dan Abu Bakar tersebut membuktikan kematangan psikologi mereka
dalam menyikapi fenomena kematian. Kematian bukan hal yang menyeramkan.
Mati pasti terjadi sebagai jembatan berjumpa seorang hamba kepada
Rabb-Nya, lalu mempertanggungjawabkan apa yang manusia perbuat selama di
dunia.
Pilihan Abu Bakar agar dikafani
menggunakan baju lusuh yang biasa dikenakan saat shalat berjamaah dengan
Nabi mengesankan setidaknya dua hal. Pertama, kecintaan beliau yang
begitu mendalam terhadap Rasulullah. Kedua, bukti kebersahajaan Abu
Bakar yang istiqamah, saat hidup hingga maut menjemput.
Yang
paling menarik adalah saat ia menjawab tawaran 'Aisyah yang hendak
membelikan kain kafan baru. Ia menampiknya dengan alasan bahwa barang
baru hanya layak untuk orang hidup, bukan orang mati. Pernyataan yang
terakhir ini sejatinya bukan sekadar penolakan, melainkan pula pesan
untuk mereka yang masih hidup bahwa gemerlap duniawi tak lagi relevan
ketika jasad seseorang sudah tertimbun di dalam tanah.
0 komentar:
Posting Komentar