Sabtu, 24 Februari 2018

Nahrawi Abdussalam, Ulama Syafi’iyah Berkaliber Dunia asal Indonesia


Siapa yang tidak mengenal Dr. KH Ahmad Nahrawi Abdussalam? Ulama Syafi’iyah Internasional berpemikiran wasathiyah (moderat) dari Indonesia yang karya-karyanya kerap menjadi rujukan nasional maupun internasional.

Kisah-kisah perjalanan inspiratifnya dapat dijadikan motivasi bagi kita dalam menggapai cita-cita, teruma bagi kalangan pelajar di luar negeri untuk lebih semangat dalam menjalankan studinya.

Kiprah Nahrawi Abdussalam dibedah pada seri diskusi Islam Nusantara Center (INC) di Wisma UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (17/2), Amirah Nahrawi mengisahkan perjalanan gigih ayahandanya untuk dapat belajar di Al Azhar, Kairo. Dari mulai berdagang minyak kelapa hingga menjadi seorang penyiar radio.

Namun hal tersebut bukanlah semata karena urusan duniawi yang menjadi substansi dari kerja kerasnya. “Sejak kecil, ayah saya tidak diizinkan untuk sekolah di sekolahan Belanda, sehingga ia menempuh pendidikan hingga SLTA di Jamiatul Khair, Tanah Abang,” kata Amirah memulai kisah ayahnya.

Nahrawi kecil adalah sosok yang pandai, sehingga ia sering melompat dalam jenjang pendidikannya. Namun setelah lulus, berbagai kendala menghampiri sehingga keinginannya untuk kuliah pun tertunda.

Hingga akhirnya ia memutuskan untuk belajar dan bergaul dengan orang-orang di daerah maupun luar daerahnya dan bekerja sebagai penjual minyak kelapa yang mana pada saat itu penghasilannya mampu mencukupi kebutuhan selama setahun.

“Menjadi pengusaha yang sukses, tidak menjadikannya lepas begitu saja, bergaul dengan orang begitu saja, ia selalu membimbing rekan-rekannya dengan jalan yang benar sehingga ia mempunyai banyak relasi dari kota maupun luar kota,” papar anak sulung Nahrawi Abdussalam ini. 

Kesuksesan tak pernah menghilangkan keinginan untuk tetap kuliah di universitas impiannya, yakni Al Azhar Kairo. Hingga suatu ketika ia diajak oleh ibunya untuk berangkat haji dan memutuskan untuk tetap tinggal di Saudi Arab menunggu informasi pendaftaran di Al Azhar dan meninggalkan begitu saja usaha minyak kelapanya yang sukses.

Membentuk ikatan pelajar di Saudi

Di Saudi ia bertemu dengan orang-orang yang disebut sebagai ’santri’ yang kemudin menjadi kawan karib maupun kawan intelektualnya. 

“Namun ada satu hal ciri pelajar di sana, mereka sangat kesantri-santrian dan banyak dari mereka yang baru paham, sedikit keras,” lanjutnya.

Sehingga Nahrawi pun berusaha membentuk ikatan pelajar Indonesia yang bertujuan untuk membantu pelajar di Saudi untuk lebih terbuka dan lebih memahami ilmu, yang diam jadi pembicara,yang tidak pandai berpidato jadi pandai berpidato, yang beraliran keras menjadi lunak, dan yang lunak menjadi netral.

“Namun pada saat itutidak ada yang boleh membentuk ikatan apapun di Saudi,” terangnya.

Atas kepandaian Nahrawi dalam bergaul, ia mendapat bantuan oleh seorang angkatan bersenjata Saudi Arabia, Syeikh Abdul Jalil dalam pembentukan ikatan pelajar tersebut. Maka terbentuklah Ikatan Pelajar Indonesia Hijaz (IPIH).

“Di IPIH tujuan dan pola pendidikannya sangat menusantara, ia menerapkan konsep-konsep wasathiyah, sehingga semakin tahun anggotanya semakin bertambah,” jelasnya.

Sebagai pengembara, ia harus hidup mandiri. Di samping belajar, ia pun bekerja. Meski saat itu di Saudi sudah berdiri universitas yang mumpuni seperti Darul Ulum, Al Falah, dan lain-lainnya. 

Namun keinginan untuk belajar di Al Azhar tetap kuat. Dalam penantiannya itu, ia gunakan waktunya di Saudi untuk menghapal Al Qur’an yang selama dua bulan sepuluh hari sudah rampung dikhatamkan. 

“Setiap jam 12 malam ayah saya selalu belajar di bawah Hijr Ismail, di situ ia mampu menghabiskan 8 juz dalam sehari untuk menghafalkan,” terangnya.

Dua tahun di Saudi akhirnya ia dipertemukan dengan staff dari kedutaan Mesir yang kemudian menjadi jalan informasi bagi dirinya untuk dapat masuk ke Universitas Al Azhar.

Kuliah dan penyiar radio

Sesampai di Mesir Nahrawi diuji, karena tidak memiliki ijazah persamaan dari Jamiatul Khair. Dalam ujian tersebut ia dinyatakan lulus tanpa harus perbaikan. Untuk pertama kalinya ia menduduki bangku kuliah yang diimpikan yakni jurusan Syari’ah.

Pertama tinggal di Mesir, ia sempat mengalami perampokan sehingga seluruh kekayaannya hilang, namun setelah itu ia mendapat beberapa tawaran pekerjaan yang gajinya cukup tinggi, di antaranya adalah sebagai pengajar dan penyiar radio (1952-1970).

“Rutinitas ayah saat itu sangat padat, mulai pukul enam pagi berangkat ke Al Azhar kemudian langsung ke ‘Ainus Syams sebagai dosen, lalu ke radio sebagai penerjemah dan merencanakan tiap-tiap episode untuk siaran Indonesia, lalu pulang pada sore hari dan kembali lagi ke Al Azhar setelah isya’, jadi meskipun uangnya banyak tapi, ia sangat sibuk,” terang anaknya panjang lebar.

Atas semangatnya itu ia berhasil memperoleh gelar Lc (Syariah) pada tahun 1955/1956, dua tahun kemudian MA pada jurusan yang sama, dua tahun kemudian ia meneruskan pada jurusan Kehakiman dan mendapat gelar MA yang kedua, dan MA yang ketiga dalam jurusan Perbandingan Madzhab, dan MA yang ke empat pada jurusan bahasa diperoleh dari Akademi Tinggi Liga Arab, Kairo. 

Setelah lulus ia sempat pindah ke Damshkus dan kembali lagi ke Saudi sebagai penyiar dan penerjemah di radio Saudi Arabia. 

“Sebelum kembali ke Saudi, ayah saya menikahi seorang gadis cantik, mama saya,” jelasnya.

Kembali ke Saudi Arabia

Ketika di Saudi, Nahrawi hidup bahagia dengan keluarganya bahkan dikaruniai tiga anak. Namun dalam benaknya terbesit keinginan untuk kembali ke Tanah Air.

“Mengapa ingin kembali ke Indonesia? Karena saya ingin mati dan dikuburkan di tanah kelahiran saya,” kata Amirah mengutip dari ayahnya.

Sambil mempersiapkan segalanya untuk kembali, waktu luangnya di Saudi ia gunakan untuk belajar qiroat dengan salah satu ulama Al Azhar. Kepadanya ia membuat metode yang mudah, yang pada saat itu gurunya sangat  terkesan dengan metode yang ia buat. Dan metodenya pun dicetak dan digunakan sebagai metode pembelajaran di Al Azhar.

Selain itu ia juga mengembangkan hasil disertasinya yang membahas tentang aliran syafi’iyah untuk dijadikan buku, karena banyak pihak yang menginginkannya. 

“Saat bukunya dicetak, percetakanya tidak mau menggunakan nama Al Indunisiy (Indonesia) di belakang namanya, sebab ditakutkan peminatnya berkurang,” katanya.

Namun Nahrawi tetap kukuh untuk menggunakan nama Indonesia, urusan terjual atau tidaknya yang terpenting nama negaranya bisa naik. Saking cintanya pada Indonesia, ia bahkan tidak memikirkan nama kelokalan, seperti Al Banjari, Al Batawi, dan lain-lain.

Pada cetakan pertama (1989) terjual habis kurang dari dua bulan, dan ketika ingin mencetak kembali untuk yang kedua, rumah yang akan disinggahi di Indonesia sudah siap sehingga ia harus pulang ke Indonesia (1990). 

Sebelum wafat (1999), Selama 9 tahun di Indonesia, waktunya ia habiskan untuk mengabdi pada masyarakat seperti membuka majelis, mengajar di perguruan tinggi serta turut aktif dalam organisasi masyarakat seperti PBNU di mana saat itu ia berkiprah sebagai Anggota Syuriyah PBNU.

Selain mengabdi pada organisasi kemasyarakatan, ia juga menjadi Dewan Fatwa Ulama Indonesia Pusat serta aktif dalam dunia perpolitikan.

0 komentar:

Posting Komentar