Perbedaan
antara imam dan makmum itu sebenarnya perbedaan dalam soal furu`. Meskipun
perbedaan ini menyangkut soal furu` tetapi
faktanya menimbulkan kebingungan tersendiri bagi umat di bawah.
Kebingunan ini lahir karena shalatnya imam dalam keyakinan imam adalah sah,
tetapi dalam pandangan makmum dianggap tidak sah, atau sebaliknya.
Misalnya,
imam dalam shalat tidak membaca basmalah,
padahal dalam madzhab Syafi’i basmalah termasuk bagian dari
surat al-Fatihah. Menurut Imam
Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kasus yang seperti ini terdapat empat pendapat.
اَلْاِقْتِدَاءُ
بِأَصْحَابِ الْمَذَاهِبِ الْمُخَالِفِينَ بِأَنْ يَقْتَدِيَ شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ
أَوْ مَالِكِيٍّ لَا يَرَى قِرَاءَةَ الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ وَلَا إِيْجَابَ
التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَلَا تَرْتِيبِ الْوُضُوءِ وَشِبْهِ ذَلِكَ؛ وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُونَ صَلَاةُ الْإِمَامِ
صَحِيحَةً فِي اعْتِقَادِهِ دُونَ اعْتِقَادِ الْمَأْمُومِ أَوْ عَكْسِهِ لِاخْتِلَافِهِمَا
فِي الْفُرُوعِ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ
“Bermakmum dengan orang yang menganut madzhab lain itu contohnya seperti
orang yang menganut madzhab Syafi’i bermakmum dengan orang yang mengikuti
madzhab Hanafi, atau Maliki yang tidak membaca basmalah ketika membaca surat al-Fatihah, tidak mewajibkan
tasyahhud akhir, shalawat kepada Nabi Saw, tidak mengharuskan adanya tertib
dalam wudhu dan semisalnya. Prinsipnya adalah bahwa shalatnya imam itu sah
menurut keyakinan pihak imam itu sendiri, bukan makmum atau sebaliknya, karena
terdapat perbedaan di antara keduanya dalam hal-hal furu`. Dalam konteks ini ada empat pendapat.”
(Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, tt, juz, 4 h. 182)
Pendapat
pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh Imam al-Qaffal. Menurut Imam al-Qaffal
bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab adalah sah secara mutlak. Kesahan
ini dilihat dari sudut pandangan imam itu sendiri.
Artinya,
karena imam menyakini bahwa shalat yang dia lakukan adalah sah, maka shalat
orang yang bermakmum kepadanya otomatis juga sah, tanpa harus melihat perbedaan
keyakinan keduanya dalam soal-soal furu`.
أَحَدُهَا-
اَلصِّحَّةُ مُطْلَقًا: قَالَهُ الْقَفَّالُ اِعْتِبَاراً بِاعْتِقَادِ الْاِمَامِ
“(Pertama)
sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh oleh al-Qaffal dengan melihat
pada keyakinan imam itu sendiri.” (Al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Pendapat
kedua menyatakan tidak sah secara mutlak. Ini adalah pendapat yang dianut oleh Imam Abu Ishaq al-Isfarayini. Alasan
yang dikemukan adalah jika seorang imam melakukan apa yang kami anggap sebagai
syarat atau kami mewajibkannya, padahal ia tidak menyakini apa yang dia lakukan
adalah sebagai syarat sah atau kewajiban maka ia sama saja tidak dianggap
melakukannya.
وَالثَّانِي-
لَا يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا: قَالَهُ أَبُو إِسْحَاقَ اَلَإِسْفَرَايِنِيُّ
لِأَنَّهُ وَإِنْ أَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ وَنُوْجِبُهُ فَلَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَهُ
فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ
“(Kedua)
tidak sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Isfarayini, karena jika
imam melakukan sesuatu yang kita syaratkan atau wajibkan tetapi ia tidak
menyakini kewajibannya maka ia seperti tidak melakukannya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,
juz, 4, h. 182)
Dari pendapat kedua ini maka lahirlah pendapat ketiga yang menyatakan bahwa
jika imam melakukan apa yang dianggap oleh madzhab makmum telah melakukan apa
yang dipandang sah menurutnya, maka sah bermakmum kepada imam tersebut. Namun
apabila imam meninggalkan apa yang dianggap sebagai syarat bagi kesahan shalat
dalam pandangan madzhab makmum, atau makmum meragukannya maka tidak sah
bermakmum kepadanya.
وَالثَّالِثُ--
إِنْ أَتَي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ صَحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَإِنْ
تَرَكَ شَيْئاً مِنْهُ أَوْ شَكَّكْنَا فِي تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ
“(Ketiga) jika imam melakukan apa yang kita anggap sebagai syarat kesahan
shalat maka sah bermakmum kepadanya, dan jika ia meninggalkan sesuatu yang kami
anggap sebagai kesahan shalat atau kita meragukan dalam meninggalkannya
maka tidak sah bermakmum kepadanya” (Al-Majmu’
Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Selanjutnya
adalah pendapat yang keempat. Pendapat ini menyatakan bahwa jika imam telah
terbukti secara nyata meninggalkan sesuatu yang dianggap terkait dengan kesahan
shalat dalam pandangan madzhab makmum maka tidak sah bermakmum kepadanya. Tetapi jika terbukti secara nyata melakukan seluruh hal yang
menjadi kesahan shalat menurut pendapat madzhabnya makmum atau diragukannya,
maka bermakmum kepadanya adalah sah. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Ishaq
al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, Imam al-Bandaniji, Imam al-Qadhi
Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama dari kalangan madzhab Syafi’i.
وَالرَّابِعُ--
وَهُوَ الْأَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ اَلْمَرْوَزِيُّ وَالشَّيْخُ أَبُو
حَامِدٍ اَلْإِسْفَرَايِنِيِّ وَالْبَنْدَنِيجِيُّ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْأَكْثَرُونَ
إِنْ تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَاِنْ
تَحَقَّقْنَا الْإِتْيَانَ بِجَمِيعِهِ أَوْ شَكَّكْنَا صَحَّ
“(Empat) yaitu pendapat yang paling
sahih yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid
al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama
(madzhab syafi’i). (Pendapat ini menyatakan) jika kita mengetahui secara pasti ia
meninggalkan sesuatu yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat, maka tidak
sah bermakmum kepadanya. Tetapi jika kita mengetahui secara pasti ia melakukan
semua hal yang menjadi syarat kesahan shalat menurut pandangan kita atau kita
meragukannya maka sah bermakmum kepadanya.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)
Pendapat
kedua, ketiga, dan keempat sebenarnya merupakan pendapat yang saling berkaitan. Jadi,
empat pendapat tersebut bisa diringkas jadi dua. Yaitu, pendapat yang
menyatakan sah secara mutlak, dan pendapat yang menyatakan tidak sah. Bahkan ketidaksahan bermakmum itu bisa secara mutlak ketika
imam meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disyaratkan dalam shalat menurut
madzhabnya makmum. Namun jika, ternyata imam melakukan apa yang diwajibkan atau
disyaratkan menurut madzhabnya makmum maka sah bermakmum kepadanya.
Dari penjelasan yang di atas dapat dipahami bahwa inti permasalahannya
bukan terletak pada apakah imam menganut madzhab yang berbeda atau tidak. Tetapi
apakah imam telah memenuhi apa yang menjadi syarat-rukun atau kewajiban yang
kita yakini atau tidak.
0 komentar:
Posting Komentar