Rasulullah mampir di sebuah lembah ketika beliau bersama para
sahabatnya pulang dari perang Dzatur Riqa'. Rombongan singgah sejenak di
bawah rindangnya pepohonan, melepas penat, hingga ramai-ramai tidur di
tempat itu.
Saat itu Rasulullah
menggantungkan pedangnya di atas pohon, dan turut beristirahat
sebagaimana peserta perjalanan yang lain. Kala semua orang terlelap
itulah, kejadian tak terduga muncul.
Seorang
pria dari golongan musuh tiba-tiba datang, mencabut pedang Nabi yang
bertengger di pohon, lalu mengacungkannya ke leher Rasulullah. Dengan
tegas, anggota kaum Musyrikin ini menggertak, "Kau takut padaku?"
Rasulullah menjawab dengan tenang, "Tidak."
"Siapa yang melindungimu dari perbuatanku?"
"Allah," sahut Nabi.
Jawaban singkat Nabi itu ternyata membawa kekuatan luar biasa. Pedang si musuh jatuh hingga giliran Nabi mengambil pedang itu.
Selanjutnya Rasulullah bertanya, "Siapa yang melindungimu dari perbuatanku?"
Bisa
dibayangkan, betapa kalutnya mental si musuh. Setelah ia merasa gagah
menenteng senjata hendak menghabisi nyawa Nabi, kini tiba-tiba situasi
berbalik. Bayang-bayang kematian ada di depan mata.
"Jadilah engkau sebaik-baik orang yang melindungi," jawab musuh itu, memohon simpati dari Nabi.
"Maukah kau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah?" Nabi menawarkan.
"Tidak. Tapi aku berjanji tidak akan memerangimu, juga tidak bersekutu lagi dengan kubu yang memerangimu."
Orang
musyirik ini beruntung berhadapan dengan Rasulullah, manusia pilihan
yang bersih dari kotoran benci dan dendam. Orang tersebut dibebaskan
begitu saja oleh Nabi.
Cerita ini bisa kita baca di kitab Riyâdlus Shâlihîn, yang memaparkan jalur riwayat dari Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Mengapa
Rasulullah melepaskan orang yang hampir saja menggorok lehernya? Jika
diamati, hadits tersebut mengungkap adanya janji dari orang yang tak mau
masuk Islam itu untuk benar-benar menghentikan permusuhan dengan kaum
Muslimin. Komitmen ini bisa dibaca sebagai kontrak sosial, dan Nabi
sangat menghormati sebuah janji meski potensi dikhianati tetap ada.
Hal
ini pula yang tampak ketika Rasulullah mentransformasi kota Yatsrib
menjadi Madinah. Secara bahasa madînah berarti tempat beradab. Makna ini
dicerminkan oleh Nabi dari keputusannya membangun konstitusi yang
menjamin kehidupan secara aman dan damai pluralitas penduduk di sana.
Konstitusi itulah yang dikenal sebagai "Piagam Madinah" (Mîtsaq Madînah). Piagam ini dibangun dari kesepakatan bersama (mu’âhadah)
atau dalam bahasa modern dikenal dengan kontrak sosial yang menjamin
kesamaan hak dan perlindungan terhadap seluruh anggota kesepakatan.
Artinya, konstitusi yang diagung-agungkan modernitas sebagai penanda
sistem politik yang maju dan rasional, telah dilakukan Nabi belasan abad
lalu.
Saat itu Madinah dihuni oleh penduduk
yang cukup plural. Ada kaum Muslim Muhajirin dan Ansor, suku Aus dan
Khajraj, serta suku-suku lain. Juga pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan
Majusi. Nabi sengaja membangun sistem berdasar perjanjian kolektif demi
terlindunginya hak-hak dasar seluruh warga tanpa terkecuali, mulai dari
hak hidup, hak kepemilikan, hingga hak diperlakukan adil tanpa
diskriminasi. Sebagaimana lazimnya konstitusi, para pelanggar dianggap
sebagai pengkhianat dan mendapat sanksi tertentu.
Rasulullah bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
Artinya:
“Barangsiapa yang membunuh orang yang terikat perjanjian, maka ia tak
akan mencium bau surge. Sungguh bau surga itu tercium dari jarak
perjalanan 40 tahun.” (HR al-Bukhari)
Dalam riwayat lain, Nabi mengatakan:
أَلَا
مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا، أَوِ انْتَقَصَهُ، أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ
طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيْبِ نَفْسٍ، فَأَنَا
حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya:
“Ingatlah, siapa yang sewenang-wenang terhadap orang yang terikat
perjanjian, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau
mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan darinya (merampas), maka aku
adalah lawan bertikainya pada Hari Kiamat. (HR Abu Dawud)
Dua
hadits tersebut menunjukkan betapa seriusnya Rasulullah dalam
menanggapi perjanjian atau kesepakatan, apalagi yang melibatkan banyak
orang. Meski secara politik berada di puncak kepemimpinan, Nabi tidak
menggunakan kekuasaannya itu untuk memaksa orang lain berbondong masuk
Islam, mendiskriminasi minoritas, atau kezaliman lainnya. Beliau lebih
suka tampil sebagai pemimpin dan pengayom ketimbang sebagai penguasa,
dan dengan segenap kearifannya membangun peradaban secara cerdas dan
bermartabat. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar